Only to you Skripsier

.

.

Kamis, 26 Februari 2015



     Ada sebuah pesantren putri di Kota SKRIPSI. Di pesantren itu, terdapat lingkaran mentoring penuh cinta. Di dalam salah satu lingkaran itu, terdapat enam muslimah yang subhanallah dan luar biasa. Namanya Siti, Ifti, Tiwi, Rina, Nadya, dan Maydha. Ya, sebut saja demikian. Lingkaran cinta itu dibina oleh pementor yang juga nggak kalah luar biasa. Namanya Mbak Nadia.
     Suatu siang di musholla pesantren, tepatnya setelah menjalankan shalat Zuhur dan makan siang mereka melingkar di sudut musholla. Mbak Nadia sedang bersemangat menyampaikan sesuatu kepada adik-adik menteenya. Mereka membentuk lingkaran dengan kapur dan penghapus di depan mereka. Setelah membuka pertemuan dengan salam dan membaca Quran, Mbak Nadia memegang kapur pada tangan kanannya dan penghapus di tangan kirinya.
     “Mbak, buat apa sih kapur sama penghapusnya?” tanya Tiwi penasaran.
     Mbak Nadia tersenyum,”mbak punya permainan, nih. Sebelum menyampaikan materi, mau gak kita games dulu?”

     “Mauuuu!” seru mereka bersemangat.
     “Caranya gini, kalo mbak angkat tangan kanan kalian jawab kapur. Kalo mbak angkat tangan kiri, kalian jawab penghapus. Bisa?” tanya Mbak Nadia sambil menimang kedua benda itu di tangan kanan dan kirinya.
     “Bisaaaaa!”
     Mereka mengerti dan mengikuti. Mbak Nadia mengangkat tangannya secara bergantian, semakin lama semakin cepat. Beberapa saat kemudian, Mbak Nadia berkata, “Baik, sekarang perhatikan ya. Kalo mbak bilang kapur, kalian jawab penghapus. Kalo mbak bilang penghapus, kalian jawab kapur ya.”
     Mbak Nadia mengulang gerakannya seperti tadi. Tentu saja Siti, Ifti, Tiwi, Rina, Nadya, dan Maydha menjadi keliru dan bingung. Sangat sulit untuk mengubahnya. Namun perlahan, mereka sudah terbiasa dan tidak bingung lagi. Akhirnya, permainan terhenti.
     Mbak Nadia tersenyum kepada adik-adiknya.
     “Adik-adik, begitulah kita umat Islam. Mulanya yang haq itu haq, yang bathil itu bathil. Namun kemudian musuh-musuh kita memaksakan kepada kita berbagai cara, untuk menukarkan sesuatu dari yang haq menjadi yang bathil, dan sebaliknya. Awalnya mungkin akan sulit bagi kita menerima hal tersebut, tetapi karena terus disosialisasikan dengan cara-cara yang menarik oleh mereka, akhirnya pelan-pelan kamu akan terbiasa dengan hal itu. Bisa ditebak, kan? Kalian mulai dapat mengikutinya. Musuh-musuh kita tidak pernah berhenti membalik dan menukar nilai-nilai kita.”
     “Keluar berduaan! Berpacaran bukanlah sesuatu yang sulit, zina tidak lagi menjadi persoalan, pakaian seksi menjadi hal yang lumrah tanpa rasa malu. Seks sebelum  menikah menjadi kebiasaan dan tren, materialistik kini menjadi suatu gaya hidup dan sebagainya,” suara Mbak Nadia penuh tekanan. “Semuanya sudah terbalik. Dan tanpa disadari, kalian sedikit demi sedikit menerimanya tanpa ada rasa bahwa itu adalah kesalahan dan kemaksiatan.”
     Remaja muslimah tadi mendengarkan penjelasan Mbak Nadia dengan sungguh-sungguh.
     “Kalian mau games lagi?” tanya Mbak Nadia sambil menepuk kedua tangannya.
     “Mau mbaaaaaaaak.”
     “Baik, sekarang kalian berdiri,” Mbak Nadia meraih Quran kecilnya dan menjauhi karpet yang tadi diduduki diikuti keenam adik menteenya.
     “Mbak punya satu Al-Quran. Sekarang, Mbak letakkan di tengah-tengah karpet,” Mbak Nadia meletakkan Qurannya di tengah-tengah karpet. Yang lain menyingkirkan tas-tas mereka ke sudut tembok.
      “Nah, kalian berdiri di luar karpet,” yang lain berdiri di luar karpet. “Permainannya adalah, bagaimana caranya kalian mengambil Quran yang di tengah sana tanpa menyentuh karpet?”
      Keenam muslimah tersebut berpikir. Ada yang mencoba mengulurkan tangan, menjulurkan tangan dengan kemoceng yang tergantung, dan lain-lain. Semuanya gagal. Setelah semuanya menyerah, Mbak Nadia memberikan jalan keluar. Digulungnya karpet tersebut dan diambilnya Quran. Mbak Nadia memenuhi syarat, tidak menginjak karpet.
      “Adik-adik, begitulah umat Islam dan musuh-musuhnya. Musuh-musuh Islam tidak menginjak kalian dengan terang-terangan. Karena tentu kalian akan menolaknya mentah-mentah. Orang biasapun tak akan rela kalau Islam dihina di depan mereka. Tapi mereka akan menggulung kalian perlahan-lahan dari pinggir, sehingga kalian tidak sadar.”
      Mereka tetap berdiri, menatap Mbak Nadia dengan penuh minat. Menanti penjelasan selanjutnya.
     “Jika ingin membuat rumah yang kuat, maka dibuatlah pondasi yang kuat. Begitulah Islam, jika ingin kuat, maka bangunlah aqidah yang kuat. Sebaliknya, jika ingin menghancurkan rumah, tentu susah kalau dimulai dengan pondasinya dulu. Tentu saja hiasan-hiasan dinding akan dikeluarkan dulu, kursi dipindahkan dulu, lemari dibuang satu persatu, baru rumah dihancurkan,” jelas Mbak Nadia.
      “Begitulah musuh-musuh Islam menghancurkan kita. Ia tidak akan menghantam terang-terangan, tapi ia akan perlahan-lahan membingungkan kalian. Mulai dari sikap dan perilaku, tata cara hidup, pakaian, dan sebagainya. Sehingga, meski kalian seorang muslim, tapi kalian telah meninggalkan ajaran Islam dan mengikuti cara mereka...” Mbak Nadia mengambil napas sejenak. “Dan memang itulah yang mereka inginkan.”
      Ifti mengangkat tangannya,”mbak, kenapa mereka nggak berani terang-terangan menginjak Islam?”
      “Dulu, mereka pernah terang-terangan menginjak Islam. Tapi gagal dan tidak pernah menang karena umat Islam berpegang pada Al-Quran dan Hadits. Tapi sekarang tidak lagi,” jawab Mbak Nadia. “Begitulah Islam. Kalau diserang perlahan-lahan, diam-diam mereka tidak sadar dan akhirnya hancur. Tapi kalau diserang secara terang-terangan, mereka akan bangkit serentak. Baru mereka akan sadar.”
      Siti, Ifti, Tiwi, Rina, Nadya, dan Maydha mengangguk-angguk paham. Mbak Nadia tersenyum arif. Mereka kembali duduk melingkar di atas karpet setelah merapikan semuanya. Mbak Nadia lalu menoleh pada Siti yang pada pertemuan ini bertugas sebagai Mudir Jalasah.
      “Yuk, dilanjutkan. Agenda selanjutnya apa, Siti?”
******


Sebaik baiknya manusia adalah yang bisa bermanfaat bagi orang lain #MenyentuhHatiDenganHati

0 komentar:

Posting Komentar