Ada sebuah pesantren putri di Kota SKRIPSI. Di pesantren
itu, terdapat lingkaran mentoring penuh cinta. Di dalam salah satu lingkaran
itu, terdapat enam muslimah yang subhanallah dan luar biasa. Namanya Siti, Ifti,
Tiwi, Rina, Nadya, dan Maydha. Ya, sebut saja demikian. Lingkaran cinta itu
dibina oleh pementor yang juga nggak kalah luar biasa. Namanya Mbak Nadia.
Suatu siang di musholla pesantren, tepatnya setelah
menjalankan shalat Zuhur dan makan siang mereka melingkar di sudut musholla.
Mbak Nadia sedang bersemangat menyampaikan sesuatu kepada adik-adik menteenya.
Mereka membentuk lingkaran dengan kapur dan penghapus di depan mereka. Setelah
membuka pertemuan dengan salam dan membaca Quran, Mbak Nadia memegang kapur pada
tangan kanannya dan penghapus di tangan kirinya.
“Mbak, buat apa sih kapur sama penghapusnya?” tanya Tiwi
penasaran.
Mbak Nadia tersenyum,”mbak punya permainan, nih. Sebelum
menyampaikan materi, mau gak kita games
dulu?”
“Mauuuu!” seru mereka bersemangat.
“Caranya gini, kalo mbak angkat tangan kanan kalian jawab
kapur. Kalo mbak angkat tangan kiri, kalian jawab penghapus. Bisa?” tanya Mbak
Nadia sambil menimang kedua benda itu di tangan kanan dan kirinya.
“Bisaaaaa!”
Mereka mengerti dan mengikuti. Mbak Nadia mengangkat
tangannya secara bergantian, semakin lama semakin cepat. Beberapa saat
kemudian, Mbak Nadia berkata, “Baik, sekarang perhatikan ya. Kalo mbak bilang
kapur, kalian jawab penghapus. Kalo mbak bilang penghapus, kalian jawab kapur
ya.”
Mbak Nadia mengulang gerakannya seperti tadi. Tentu saja
Siti, Ifti, Tiwi, Rina, Nadya, dan Maydha menjadi keliru dan bingung. Sangat
sulit untuk mengubahnya. Namun perlahan, mereka sudah terbiasa dan tidak
bingung lagi. Akhirnya, permainan terhenti.
Mbak Nadia tersenyum kepada adik-adiknya.
“Adik-adik, begitulah kita umat Islam. Mulanya yang haq itu haq, yang bathil itu bathil. Namun kemudian musuh-musuh kita
memaksakan kepada kita berbagai cara, untuk menukarkan sesuatu dari yang haq menjadi yang bathil, dan sebaliknya. Awalnya mungkin akan sulit bagi kita
menerima hal tersebut, tetapi karena terus disosialisasikan dengan cara-cara
yang menarik oleh mereka, akhirnya pelan-pelan kamu akan terbiasa dengan hal
itu. Bisa ditebak, kan? Kalian mulai dapat mengikutinya. Musuh-musuh kita tidak
pernah berhenti membalik dan menukar nilai-nilai kita.”
“Keluar berduaan! Berpacaran bukanlah sesuatu yang sulit,
zina tidak lagi menjadi persoalan, pakaian seksi menjadi hal yang lumrah tanpa
rasa malu. Seks sebelum menikah menjadi
kebiasaan dan tren, materialistik kini menjadi suatu gaya hidup dan
sebagainya,” suara Mbak Nadia penuh tekanan. “Semuanya sudah terbalik. Dan
tanpa disadari, kalian sedikit demi sedikit menerimanya tanpa ada rasa bahwa
itu adalah kesalahan dan kemaksiatan.”
Remaja muslimah tadi mendengarkan penjelasan Mbak Nadia
dengan sungguh-sungguh.
“Kalian mau games lagi?” tanya Mbak Nadia sambil menepuk
kedua tangannya.
“Mau mbaaaaaaaak.”
“Baik, sekarang kalian berdiri,” Mbak Nadia meraih Quran
kecilnya dan menjauhi karpet yang tadi diduduki diikuti keenam adik menteenya.
“Mbak punya satu Al-Quran. Sekarang, Mbak letakkan di
tengah-tengah karpet,” Mbak Nadia meletakkan Qurannya di tengah-tengah karpet.
Yang lain menyingkirkan tas-tas mereka ke sudut tembok.
“Nah, kalian berdiri di luar karpet,” yang lain berdiri di
luar karpet. “Permainannya adalah, bagaimana caranya kalian mengambil Quran
yang di tengah sana tanpa menyentuh karpet?”
Keenam muslimah tersebut berpikir. Ada yang mencoba
mengulurkan tangan, menjulurkan tangan dengan kemoceng yang tergantung, dan
lain-lain. Semuanya gagal. Setelah semuanya menyerah, Mbak Nadia memberikan
jalan keluar. Digulungnya karpet tersebut dan diambilnya Quran. Mbak Nadia
memenuhi syarat, tidak menginjak karpet.
“Adik-adik, begitulah umat Islam dan musuh-musuhnya.
Musuh-musuh Islam tidak menginjak kalian dengan terang-terangan. Karena tentu
kalian akan menolaknya mentah-mentah. Orang biasapun tak akan rela kalau Islam
dihina di depan mereka. Tapi mereka akan menggulung kalian perlahan-lahan dari
pinggir, sehingga kalian tidak sadar.”
Mereka tetap berdiri, menatap Mbak Nadia dengan penuh minat.
Menanti penjelasan selanjutnya.
“Jika ingin membuat rumah yang kuat, maka dibuatlah pondasi
yang kuat. Begitulah Islam, jika ingin kuat, maka bangunlah aqidah yang kuat.
Sebaliknya, jika ingin menghancurkan rumah, tentu susah kalau dimulai dengan
pondasinya dulu. Tentu saja hiasan-hiasan dinding akan dikeluarkan dulu, kursi
dipindahkan dulu, lemari dibuang satu persatu, baru rumah dihancurkan,” jelas
Mbak Nadia.
“Begitulah musuh-musuh Islam menghancurkan kita. Ia tidak
akan menghantam terang-terangan, tapi ia akan perlahan-lahan membingungkan
kalian. Mulai dari sikap dan perilaku, tata cara hidup, pakaian, dan
sebagainya. Sehingga, meski kalian seorang muslim, tapi kalian telah
meninggalkan ajaran Islam dan mengikuti cara mereka...” Mbak Nadia mengambil
napas sejenak. “Dan memang itulah yang mereka inginkan.”
Ifti mengangkat tangannya,”mbak, kenapa mereka nggak berani
terang-terangan menginjak Islam?”
“Dulu, mereka pernah terang-terangan menginjak Islam. Tapi
gagal dan tidak pernah menang karena umat Islam berpegang pada Al-Quran dan
Hadits. Tapi sekarang tidak lagi,” jawab Mbak Nadia. “Begitulah Islam. Kalau
diserang perlahan-lahan, diam-diam mereka tidak sadar dan akhirnya hancur. Tapi
kalau diserang secara terang-terangan, mereka akan bangkit serentak. Baru
mereka akan sadar.”
Siti, Ifti, Tiwi, Rina, Nadya, dan Maydha mengangguk-angguk
paham. Mbak Nadia tersenyum arif. Mereka kembali duduk melingkar di atas karpet
setelah merapikan semuanya. Mbak Nadia lalu menoleh pada Siti yang pada
pertemuan ini bertugas sebagai Mudir
Jalasah.
“Yuk, dilanjutkan. Agenda selanjutnya apa, Siti?”
******
0 komentar:
Posting Komentar